kapal perang cina
Kita lihat semua sektor
penting ekonomi Indonesia telah dikuasai secara rapi dan teroganisir. Hampir
semua media mainstream juga dikuasai. Dengan kekuatan ekonomi mereka memegang
kendali. Setelah ekonomi, kini gilirannya menguasai Indonesia secara politik.
Tujuannya, agar bangsa dan negara ini di bawah kendali mereka sepenuhnya.
Yah, konglomerat non
pribumi etnis Cina hampir rata-rata adalah penjahat dan musuh negara. Mereka
pengemplang pajak, penyelundup, penimbun kebutuhan pokok, kartel, dan
seterusnya.
Hampir semua konglomerat non pribumi etnis Cina melakukan korupsi pajak, korupsi bea masuk, royalti, iuran dan tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya pada negara.
Hampir semua konglomerat non pribumi etnis Cina melakukan korupsi pajak, korupsi bea masuk, royalti, iuran dan tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya pada negara.
Modusnya, mengumpulkan uang
sebanyak-banyaknya di negara ini, setelah itu kekayaannya dibawa ke luar
negeri. Mereka menyimpannya di bank-bank luar seperti Singapura, Hongkong,
Taiwan dan Tiongkok.swis.
Peristiwa 1998 menjadi
bukti betapa ‘bobroknya’ etnis Cina yang ramai-ramai menarik kekayaannya dari
bank-bank nasional dalam bentuk dollar. Akibatnya, Indonesia mengalami krisis
ekonomi. Saat itu dollar menembus Rp 17.000 rupiah. Semua kebutuhan pokok
melonjak tak terkendali.. Barang-barang kebutuhan pokok menghilang di pasaran
karena penimbunan yang mereka lakukan.
Saat Habibie berkuasa menggantikan Soeharto, intervensi pun dimulai. Dollar langsung turun hingga nilai tukar Rp 5000 rupiah. Semua distribusi barang kebutuhan pokok rakyat langsung diambil alih koperasi bentukan pemerintah.
Sebuah pelajaran berharga
bagi bangsa ini bagaimana sikap dan prilaku etnis Cina yang bakal terulang.
Mereka menganggap bukan bagian dari bangsa ini. Kalau sudah ada masalah mereka
kabur dengan membawa semua harta-hartanya.
Para etnis Cina di
Indonesia selalu dianggap membawa ‘petaka’. Mereka dengan ‘cekatan’ selalu
memainkan ekonomi Indonesia. Rupiah tak akan pernah bisa menguat terhadap
dollar. Karena dollar selalu dilarikan ke luar negeri. Bagaimana seandainya
negara ini mereka kuasai? Tentu mereka akan dengan bebas dan leluasa merampok
seluruh kekayaan alam Indonesia.dan menentukan nasib kaum pribumi sebagai
budak-budak mereka. Mereka tak lebih para penjahat yang kejam dan sadis di muka
bumi ini.
Tidak aneh jika mereka
mereka seperti itu, karena budayanya memang beda dengan kita. Menurut mereka,
budaya kekayaan menjadi hal lazim, sebuah kemuliaan di dunia maupun setelah
mati. Makanya, mereka sangat ngotot untuk menjadi kaya walaupun menghalalkan
segala cara yang kontradiktif dengan budaya Indonesia.
Budaya tipu menipu adalah
budaya lumrah dan halal diperjuangkan. Karena budaya mereka yang menipu pasti
lebih unggul kecerdasannya dari yang ditipu. Dan yang ditipu pun tidak mungkin
akan mau cerita atau lapor. Sebab, itu adalah aib.
Dalam budaya Cina, bisnis
atau dagang diibaratkan seperti perang. Semua harus dikalahkan dan ditaklukkan.
Tidak ada konsep kemitraan. Oleh sebab itu tidak aneh mereka cepat kaya, karena
budaya mengahalalkan segala cara tersebut dilakukan dan telah mendara daging.
Selanjutnya yang mereka peroleh dibawa keluar. Maka, negara yang dirampok
mendapatkan imbasnya.
Selama mendominasi ekonomi
bangsa ini, selama itu pula negara kita tak akan pernah menjadi negara maju.
Pribumi akan selalu miskin di bawah permainan mereka.
Kenapa kekayaan yang mereka
dapatkan di negeri ini dibawa ke luar negeri? Karena etnis Cina sangat
mencintai leluhurnya. Sedikit saja dari mereka yang lahir turun temurun di
negara lain (Indonesia) yang mau menjadi bangsa itu seutuhnya.
Semua konglomerat di negeri
ini tidak merasa menjadi bagian dari NKRI. Mereka hanya mencari uang, uang dan
uang.
Salah satu dasar terbitnya
Inpres No.14 tahun 1967 adalah masyarakat keturunan Cina selalu memiliki ikatan
yang kuat dengan tanah leluhurnya. Rasa nasionalisme mereka terhadap NKRI
diragukan. Tidak mau berasimilasi dan akulturasi dengan pribumi. Mereka hidup
secara eksklusif dengan cluster-cluster etnis Cina yang menjadi dalang dari
kerusakan moral bangsa ini.
Lihat saja, tempat-tempat
hiburan malam, night club, bar, café dan perjudian adalah penyelenggara dan
pemiliknya orang Cina. Bahkan, di sejumlah lokalisasi perkotaan, orang-orang
pribumi dijual dan diperdagangkan (dilacurkan) oleh etnis Cina. Mereka hanya
duduk manis menerima jerih payah para pelacur pribumi.
Begitu pula para kartel
minuman keras hingga obat bius pada umumnya didominasi etnis Cina. Lihat saja
bagaimana reaksi Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang begitu
ngototnya melegalkan minuman keras. Yang paling ngawur, Ahok kini malah mau
memberi sertifikasi bagi pelacur dengan alasan untuk mengontrol prostitusi.
Ahok mudah saja bilang seperti itu, toh, bagaimana yang menjadi pelacur warga
pribumi. Mana mau etnis Cina jadi pelacur?
Dalam budaya Cina, main
judi itu bagian dari ritual buang sial, tidak dilarang, malah dianjurkan. Judi
adalah budaya dalam komunitas Cina. Berjudi itu sarana pembuang sial sekaligus
untuk mengetahui peruntungan atau nasib hoki atau tidak.
Warga Cina di seluruh dunia
selalu merasa punya kaitan dengan asal muasal leluhurnya di Tiongkok dan
diakomodir dengan ius sanguinis RRC.
Sangat jarang ditemukan
contoh akulturasi dan asimilasi kaum etnis Cina di seluruh negara di dunia.
Mereka selalu memisahkan diri dan menganggap berbeda. Itu sebabnya di seluruh
dunia di luar RRC dan Taiwan selalu ada China Town, lengkap dengan budaya dan
tradisi Cina aslinya.
Pada zaman Sukarno dijawab
dengan PP 10 1959, pencabutan inpres no. 14 tahun 1967 menimbulkan kerawanan
dalam keamanan Negara. Pasalnya, pemerintah sulit mengontrol gerakan etnis Cina
terutama yang membahayakan negara.
Peraturan Presiden Republik
Indonesia No. 10 tahun 1959 adalah sebuah peraturan yang dikeluarkan pada tahun
1959 dan ditanda tangani oleh Menteri Perdagangan Rachmat Mujomisero yang
berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di
tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan
usaha mereka kepada warga negara Indonesia.
Peraturan ini menjadi kontroversial karena pada penerapannya memakan korban jiwa (dikenal sebagai kerusuhan rasial Cibadak), dan mengakibatkan eksodus besar-besaran orang Cina (belum warganegara Indonesia) dan keturunan Tionghoa kembali ke China.
Saat ini tidak ada negara di dunia yang lebih liberal dibandingkan Indonesia dalam mengatur keberadaan warga negara etnis Cina. Liberalisme dalam pengaturan non pribumi etnis Cina ini sangat berbahaya. Melemahkan ketahanan nasional, ketahanan idiologi, ekonomi dan politik.
Anda perhatikan saja
bagaimana konglomerat-konglomerat etnis Cina di Indonesia, hampir semua merasa
bahwa Indonesia BUKAN negara mereka. Di Republik Indonesia mereka hanya mampir
mencari uang.
Setelah berhasil kemudian
mereka investasikan hasil ‘jarahannya’ ke luar negeri. Apakah ini yang dapat
disebut nasionalis sejati?
Janganlah kita sebagai bangsa mau saja diperdaya oleh opini-opini yang menipu dan menghancurkan kita. Pribumi dituntut bijaksana dalam menilai etnis, melihat hegemoni ekonomi yang dikuasai etnis Cina yang terjadi karena kesalahan fatal kebijakan penyelenggara negara.
Hegemoni ekonomi etnis Cina
Indonesia mirip dengan kondisi sosial ekonomi Malaysia pada era tahun 1960 an
di mana di tahun tersebut terjadi ketimpangan ekonomi. Distribusi kekayaan dan
kesejahteraan didominasi golongan keturunan Tionghoa yang umumnya pedagang.
Sedangkan kaum pribumi hanya menjadi WN kelas bawah yang umumnya adalah pegawai
negeri, karyawan swasta rendahan dan petani serta nelayan. Tionghoa Malaysia
menguasai sebagian besar ekonomi dan sumber-sumber produksi, jaringan
distribusi dan sektor perbankan nasional. Persis di Indonesia sekarang, sangat
mengerikan bila dilihat dari jumlah penduduknya.
Sukses bidang ekonomi,
etnis Cina juga sukses merusak mental dan moral bangsa. Bahkan, kini mereka
sudah berani masuk ke bidang politik.
Negara kita di ambang masa
kegelapan setelah jokowi yang mereka dukung dengan kekuatan uang dan media
sudah dikuasai. Kini mereka tinggal sekali melangkah lagi untuk dapat berkuasa
sepenuhnya di Indonesia.
Kita sekarang sudah
merasakan bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah sangat tidak pro rakyat
bahkan membuat rakyat jadi sengsara. Semua subsidi untuk kepentingan pribumi
telah dicabut dan diserahkan pada mekanisma pasar. Konyol!!
Kebijakan ini seolah-olah menunjukkan bahwa kita tidak punya pemerintah. Banyak undang-undang yang tidak berbanding lurus dengan konstitusi. Ekonomi kacau. Keadilan terkoyak. Negara menjadi sangat liberal dari negara di manapun di dunia ini. Negara sudah tidak peduli dengan nasib rakyat (pribumi). Kita bagaikan tidak punya negara, karena negara sudah tidak mengurus rakyatnya agar terlindungi dan menjadi sejahtera.(*).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar